Senin, 16 Februari 2009

BIOREMEDIASI


Bioremediasi mengandalkan reaksi mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini mengondisikan mikroba sedemikian rupa sehingga mampu mengurai senyawa hidrokarbon yang terperangkap di dalam tanah. Bioremediasi dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar (in-situ). Kita tak perlu repot menggali tanah dan memindahkannya ke lokasi khusus. Di Amerika Serikat (AS), teknik ini banyak diadopsi sebab biaya penggalian dan pemindahan tanah tergolong mahal. Sementara pada bioremediasi ex-situ, tanah tercemar digali dan dipindahkan ke dalam penampungan yang lebih terkontrol. Lalu diberi perlakuan khusus dengan memakai mikroba. Bioremediasi ex-situ bisa lebih cepat dan mudah dikontrol. Dibanding in-situ, ia pun mampu me-remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih beragam. Tidak Rumit Kunci sukses bioremediasi adalah dilakukan karakterisasi lahan (site characterization) dan treatability study. Menurut Idrus Maxdoni Kamil, ahli teknik lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), karakterisasi lahan tercemar, bukan hal rumit. Memang data yang diperlukan cukup banyak, seperti sifat dan struktur geologis lapisan tanah, lokasi sumber pencemar dan perkiraan banyaknya hidrokarbon yang terlepas dalam tanah. Sifat-sifat lingkungan tanah juga harus diketahui, mulai dari derajat keasaman (pH), kelembaban hingga kandungan kimia yang sudah ada. Karakterisasi lahan berfungsi pula mengetahui keberadaan dan jenis mikroba yang ada dalam tanah. Sesudah data terkumpul, kita bisa melakukan modeling untuk menduga pola distribusi dan tingkat pencemarannya. Salah satu teknik modeling yang kini banyak dipakai adalah bioplume modeling dari US-EPA. Di sini, diperhitungkan pula faktor perubahan karakteristik pencemar akibat reaksi biologis, fisika dan kimia yang dialami di dalam tanah. Dalam riset doktornya di Utah State University, AS, Maxdoni melakukan teknik bioventing. Cara ini merupakan salah satu teknik in-situ untuk memulihkan lahan yang tercemar bahan bakar jet JP-4, di Pangkalan Udara Militer Hill, Utah, tempat Angkatan Udara AS merawat mesin pesawat tempurnya, utamanya F-16 Fighting Falcon. ”Tanpa modeling yang baik, jutaan dolar bisa sia-sia karena melakukan bioremediasi di bagian yang salah. Dan jangan lupa untuk mempelajari betul karakteristik bahan pencemar,” tegas Maxdoni. Soal treatability study, Sri Harjati, peneliti Laboratorium Mikrobioteknologi Lingkungan, Pusat Antar Universitas, ITB menerangkan, ”Di laboratorium kami mencoba membiakkan mikroba yang cocok dengan senyawa hidrokarbon pencemar, dimulai dengan mikroba dalam tanah tercemar sendiri,” ujarnya. Pengkondisian paling sederhana adalah dengan menambah senyawa nutrien agar reaksi mikrobiologisnya optimal. Jika gagal, dicoba mikroba dari lahan lain. Referensi aplikasi bioremediasi di tempat lain akan sangat membantu. Rekayasa genetika terkadang juga perlu jika mikroba alamiah tak memuaskan hasilnya. Treatability study juga akan menyimpulkan apakah reaksi dapat berlangsung secara aerobik atau anaerobik. Dalam pilot project bioremediasi di stasiun kereta api Bandung, Sri Harjati dan kawan-kawan berhasil mengondisikan mikroba aerobik asli (indigeneous) agar mampu mengurai oli, solar dan senyawa hidrokarbon berat lainnya yang sudah terperangkap di dalam tanah stasiun. Semua yang berhasil dilakukan di pilot project dilaksanakan langsung di lokasi-lokasi yang ditentukan oleh karakteristik lahan. Namun karena dasarnya adalah hasil laboratorium dan pendugaan matematis, tak heran jika ada beberapa hambatan pada awalnya. ”Mikroba yang berhasil dibiakkan di laboratorium sering terhambat perkembangannya akibat kalah bersaing dengan mikroba lain, jamur atau protozoa yang sudah ada dalam tanah,” jelas Sri. Dalam pilot project di Stasiun Bandung dengan teknik ex-situ, yaitu landfarming dan bioaugmentation, kandungan senyawa hidrokarbon dalam tanah diturunkan sampai 70 hingga 90 persen setelah lima bulan. Bioremediasi in-situ memang belum banyak dipraktekkan di Indonesia. Padahal potensinya sangat tinggi mengingat tanah kita sangat kaya akan berbagai jenis mikroba. Apalagi tanah di Indonesia sangat lembab. Peralatan canggih sudah tersedia di beberapa laboratorium. Ahlinya sudah tersebar di berbagai institusi, seperti ITB, Unpad, IPB, LIPI, Lemigas, BPPT dan beberapa perusahaan swasta lainnya. Sayang, kesempatannya masih terbatas. Mudah-mudahan perusahaan minyak atau instansi lainnya dapat melihat potensi besar ini. Lebih penting lagi, mereka mau melibatkan tenaga ahli Indonesia untuk melakukan bioremediasi. Nah, lebih penting lagi kalau semuanya mau turun tangan.

Tidak ada komentar: